SUMBER DAN LANDASAN METODOLOGI DAKWAH DARI AL-QURAN DAN HADITS

Posted on

Oleh

Ema Rahmatika Febriani

1211401027

BPI/III/A 

JURUSAN BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2012 M/1433 H

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas penulis ucakan kepada Allah SWT, yang karena bimbingan-Nyalah maka penulis bisa menyelesaikan sebuah karya tulis berjudul “Sumber Metodologi Dakwah dari Al-Quran dan Hadits”

Saya mengucapkan terimakasih kepada pihak terkait yang telah membantu saya dalam menghadapi berbagai tantangan dalam penyusunan makalah ini.

Saya menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karna itu saya mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.

Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa memberikan sumbangsih positif bagi kita semua. Aamiin.

Bandung, 05 November 2012

 

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Islam adalah ajaran Allah yang sempurna dan diturunkan untuk mengatur kehidupan individu dan masyarakat. Akan tetapi, kesempurnaan ajaran islam hanya merupakan ide dan angan-angan saja jika ajaran yang baik itu tidak disampaikan kepada manusia. Lebih-lebih jika ajaran itu tidak diamalkan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, dakwah merupakan suatu aktivitas yang sangat penting dalam keseluruhan ajaran islam. Dengan dakwah, islam dapat diketahui, dihayati, dan diamalkan oleh manusia dari generasi ke generasi berikutnya. Sebaliknya, tanpa dakwah terputuslah generasi manusia yang mengamalkan islam dan selanjutnya islam akan lenyap dari permukaan bumi. Kenyataan eratnya kaitan dakwah dan islam dalam sejarah penyebaran sejak diturunkan islam kepada manusia Max Muller membuat pengakuan bahwa islam adalah agama dakwah yang di dalamnya usaha menyebarkan kebenaran dan mengajak orang-orang yang belum memercayainya dianggap sebagai tugas suci oleh pendirinya atau oleh para pengikutnya.

Melemahnya kekuatan rohaniah kaum muslimin saat ini banyak disebabkan karena mereka secara berangsur-angsur meninggalkan ajaran islam dalam banyak segi kehidupannya satu-satunya sebab kemunduran social dan cultural kaum muslimin terletak pada realitas bahwa mereka secara bersangsur-angsur melalaikan jiwa ajaran islam. Islam adalah agama mereka, akan tetapi tinggal jasad jiwa mereka. Melemahnya kesadaran manusi untuk beragama atau kekurang pekaan mereka terhadap panggilan ilahiah menurut Abul Hasan An-Nadwy disebabkan hilangnya indra keenam, yaitu indra agama.

Dakwah islam bertugas memfungsikan kembali indra keagamaan manusia yang memang telah menjadi fikri asalnya, agar mereka dapat menghayati tujuan hidup yang sebenarnya untuk berbakti kepada Allah. Sayid qutub mengatakan bahwa (risalah) atau dakwah islam ialah mengajak semua orang untuk tunduk kepada Allah Swt. Taat kepada Rosul. Dan yakin akan hari akhirat. Sasarannya adalah mengeluarkan manusia menuju penyembahan dan penyerahan seluruh jiwa raga kepada Allah Swt. Dari kesempitan dunia ke alam yang lurus dan dari penindasan agama-agama lain sudahlah nyata dan usaha-usaha memahaminya semakin mudah sebaliknya, kebatilan sudah semakin tampak serta akibat-akibatnya sudah dirasakan di mana-mana. Dengan demikian dakwah yang menjadi tanggung jawa kaum muslimin adalah bertugas menuntun manusia ke alam terang, jalan kebenaran dan mengeluarkan manusia yang berada dalam kegelapan kedalam penuh cahaya.

Dari uraian di atas, maka dapat disebutkan fungsi dakwah adalah: Dakwah berfungsi untuk menyebarkan islam kepada manusia sebagai individu dan masyarakat sehingga mereka merasakan rahmat islam sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin bagi seluruh makhluk Allah SWT. Dakwah berfungsi melestarikan nilai-nilai islam dari generasi ke generasi kaum muslimin berikutnya sehingga kelangsungan ajaran islam beserta pemeluknyadari generasi ke generasi berikutnya tidak terputus. Dakwah berfungsi korektif artinya meluruskan akhlak yang bengkok, mencegah kemungkaran dan mengeluarkan manusia dari kegelapan rohani.

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Sumber dan Landasan Metodologi Dakwah dari Al-Quran

  1.  Surat An-Nahl: 125
  2. ادْعُإِلَىسَبِيلِرَبِّكَبِالْحِكْمَةِوَالْمَوْعِظَةِالْحَسَنَةِوَجَادِلْهُمْبِالَّتِيهِيَأَحْسَنُإِنَّرَبَّكَهُوَأَعْلَمُبِمَنْضَلَّعَنْسَبِيلِهِوَهُوَأَعْلَمُبِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[1] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125)[2]

  1. Tafsiran Al-Qur’an

Kata  (الْحِكْمَةِ) hikmah antara lain berarti yang paling utama dari segala sesuatu[3], baik pengetahuan maupun perbuatan. Ia adalah pengetahuan atau tindakan yang bebas dari kesalahan atau kekeliruan.  Hikmah juga diartikan sebagai sesuatau yang bila digunakan /diperhatikan akan mendatangkan kemashalatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar, serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau lebih besar. Makna ini ditarik dari kata Hakamah, yang berarti kendali karena kendali menghalangi hewan/kendaraan mengarah  ke arah yang tidak diinginkan, atau menjadi liar. Memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai adalah perwujudan dari hikmah.  Memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang buruk pun dinamai hikmah, dan pelakunya dinamai hakim (bijaksana). Siapa yang tepat dalam penilaiannya dan dalam pengaturannya, dialah yang wajar menyandang sifat ini atau dengan kata lain dia yang hakim. Thahir ibn ‘asyur menggarisbawahi bahwa hikmah adalah nama himpuna segala ucapan atau pengetahuan yang mengarah kepada perbaikan keadaan dan kepercayaan manusia secara bersinambung. Thabathaba’i mengutip ar-raghib al-ashfahani yang menyatakan secara singkat bahwa hikmah adalah sesuatu yang mengena kebenaran berdasar ilmu dan akal. Dengan demikian hikmah adalah argumen yang menghasilkan kebenaran yang tidak diragukan, tidak mengandung kelemahan tidakk juga kekaburan.

Kata (َالْمَوْعِظَةِ) al-mau’izhah terambil dari kata  wa’azha yang berarti nasehat. Mau’izhah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar pada kebaikan. Demikian dikemukakan oleh banyak ulama. Sedang kata (َجَادِلْهُمْ) jadilhum terambil dari kata jidal yang bermakna diskusi atau bukti-bukti yang mematahkan alasan atau dalil mitra diskusi dan menjadikannya tidak dapat bertahan, baik yang dipaparkan itu diterima oleh semua orang maupun hanya oleh mitra bicara.

Ditemukan di atas, bahwa mau’izhah hendaknya disampaikan dengan puZ|¡pt  hasanah/baik, sedang perintah berjidal disifati dengan kata `|¡ômr& ahsan/yang terbaik, bukan sekadar yang baik. Keduanya berbeda dengan hikmah yang tidak disifati oleh satu sifat pun. Ini berarti bahwa mau’izhah ada yang baik dan ada yang tidak baik, sedang jidal ada tiga macam, yang baik, yang terbaik, dan yang buruk

Pendapat Para Ahli Tafsir

1.    Tafsir al-Jalâlayn[4]

Serulah (manusia, wahai Muhammad) ke jalan Rabb-mu (agama-Nya) dengan hikmah (dengan al-Quran) dan nasihat yang baik (nasihat-nasihat atau perkataan yang halus)  dan debatlah mereka dengan debat terbaik (debat yang terbaik seperti menyeru manusia kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya dan menyeru manusia kepada hujah).  Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah Yang Mahatahu, yakni Mahatahu tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Dia Mahatahu atas orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Hal ini terjadi sebelum ada perintah berperang. Ketika Hamzah dicincang dan meninggal dunia pada Perang Uhud turunlah ayat berikutnya.

2.    Tafsir al-Quthubi[5]

Ayat ini diturunkan di Makkah saat Nabi saw. diperintahkan untuk bersikap damai kepada kaum Quraisy.  Beliau diperintahkan untuk menyeru pada agama Allah dengan lembut (talathuf), layyin, tidak bersikap kasar (mukhâsanah), dan tidak menggunakan kekerasan (ta’nîf). Demikian pula kaum Muslim; hingga Hari Kiamat dinasihatkan dengan hal tersebut. Ayat ini bersifat muhkam dalam kaitannya dengan orang-orang durhaka dan telah di-mansûkh oleh ayat perang berkaitan dengan kaum kafir.  Ada pula yang mengatakan bahwa bila terhadap orang kafir dapat dilakukan cara tersebut, serta terdapat harapan mereka untuk beriman tanpa peperangan, maka ayat tersebut dalam keadaan demikian bersifat muhkamWallâhu a’lam.

3.    Tafsir ath-Thabari[6]

Allah Swt. mengingatkan Nabi saw., “Serulah, wahai Muhammad, orang-orang yang engkau diutus Rabb-mu kepada mereka dengan seruan untuk taat ke jalan Rabb-mu, yakni ke jalan yang telah Dia syariatkan bagi makhluk-Nya yakni Islam, dengan hikmah (yakni dengan wahyu Allah yang telah diwahyukan kepadamu dan kitab-Nya yang telah Dia wahyukan kepadamu) dan dengan nasihat yang baik (al-maw‘izhah al-hasanah, yakni dengan ungkapan indah yang Allah jadikan hujah atas mereka di dalam kitab-Nya dan ingatkan juga mereka dengannya tentang apa yang diturunkan-Nya sebagaimana yang banyak tersebar dalam surat ini dan ingatkan mereka dengan apa yang ditunkan Allah Swt. tentang berbagai kenikmatan-Nya bagi mereka), serta debatlah mereka dengan cara baik (yakni bantahlah mereka dengan bantahan yang terbaik), engkau berpaling dari siksaan yang mereka berikan kepadamu sebagai respon mereka terhadap apa yang engkau sampaikan. Janganlah engkau mendurhakai-Nya dengan tidak menyampaikan risalah Rabb-mu yang diwajibkan kepadamu.

4.    Tafsir al-Qurân il-‘Azhîm[7]

Allah, Zat Yang Mahatinggi, berfirman dengan memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad saw., untuk menyeru segenap makhluk kepada Allah dengan hikmah.  Ibn Jarir menyatakan, bahwa maksud dari hal tersebut adalah apa saja yang diturunkan kepadanya baik al-Quran, as-Sunnah, maupun nasihat yang baik; artinya dengan apa saja yang dikandungnya berupa peringatan (zawâjir) dan realitas-realitas manusia.  Peringatkanlah mereka dengannya supaya mereka waspada terhadap murka Allah Swt.  ‘Debatlah mereka dengan debat terbaik’ artinya barangsiapa di antara mereka yang berhujah hingga berdebat dan berbantahan maka lakukanlah hal tersebut dengan cara yang baik, berteman, lembut, dan perkataan yang baik.  Hal ini seperti firman Allah Swt. dalam surat al-‘Ankabut (29): 46 (yang artinya): Janganlah kalian berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka. Dia memerintahkannya untuk bersikap lembut seperti halnya Dia memerintahkan hal tersebut kepada Musa a.s. dan Harun a.s. ketika keduanya diutus menghadap Fir’aun seperti disebut dalam surat Thaha (20) ayat 44 (yang artinya):  Katakanlah oleh kalian berdua kepadanya perkataan lembut semoga dia mendapat peringatan atau takut. Firman-Nya “Sesungguhnya Rabb-mu Dialah Maha Mengetahui terhadap siapa yang sesat dari jalan-Nya” artinya Dia telah mengetahui orang yang celaka dan bahagia di antara mereka.  Oleh karena itu, serulah mereka kepada Allah, dan janganlah engkau merasa rugi atas mereka yang sesat, sebab bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapatkan petunjuk; engkau semata-mata pemberi peringatan, engkau wajib menyampaikan dan Kami yang wajib menghisabnya.

  1. Kandungan Surat An-Nahl: 125

Metode dakwah Rasulullah mengacu pada anjuran Allah mengenai cara berdakwah yang tercantum dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 125. Ayat ini mencakup beberapa metode dakwah sebagai berikut:

  1. Disampaikan dengan cara hikmah dan pengajaran yang baik

Cara hikmah yang dimaksud di sini adalah perkataan yang tegas dan benar yang membedakan yang hak dan yang bathil. Dakwah harus disampaikan dengan cara yang hikmah, hingga tidak manimbulkan hal yang samar-samar yang membingungkan. Pengajaran yang baik di dalam metode dakwah Rasulullah juga dimaknai sebagai dakwah yang baik disampaikan dengan cara yang lemah lembut. Rasulullah telah mengajarkan kelemah lembutan yang beliau tunjukkan tak hanya kepada para sahabat dan orang-orang muslim. Namun juga tetap lemah lembut pada musuh yang akan membunuh beliau. Inilah ketinggian akhlak berdakwah Rasulullah yang mengacu pada anjuran hikmah dalam Al-Qur’an.

  1. Berdebat dengan Cara yang Baik

Metode dakwah Rasulullah senantiasa menghindari cara berdebat yang hanya akan melemahkan seorang dai. Rasulullah senantiasa menghindari perdebatan yang diajak oleh kaum kafir Qurays. Utusan tersebut merayu dan membujuk Rasulullah untuk meninggalkan dakwah yang diperintahkan Allah. Sebagai gantinya kaum kafir Qurays akan memberikan apa saja yang dikehendaki Rasulullah seperti harta, wanita, dan jabatan. Dalam kondisi perdebatan yang sangat penting tersebut (menuntut pada akidah) Rasulullah menunjukkan sikap yang tenang dan cerdas. Beliau mempersilahkan utusan tersebut selesai berbicara, beliau menanyakan pada utusan tersebut: “sudah selesai Anda berbicara?”. Inilah bentuk keteladanan Rasulullah yang diajarkan kepada ummat manusia dalam menyebarkan dan menyampaikan ajaran dakwah. Bahkan dalam kondisi perdebatan yang sudah mencapai klimaks nilai-nilai dakwah sekalipun Rasulullah tetap mengajarkan kepada manusia cara berdebat dan berargumen yang baik dan bijak.

  1. Membalas Kejahatan dengan Kebaikan

Metode dakwah Rasulullah lainnya yang diajarkan kepada ummatnya adalah membalas sikap jahat yang dilakukan objek dakwah dengan akhlak mulia yang mengetuk hati objek dakwah, untuk selanjutnya mengantarkan kepada keimanan. Suatu ketika Rasulullah sering dicaci oleh seorang pengemis buta, Rasulullah senantiasa bersabar menyuapi dan memberi makan pengemis. Sementara dirinya selalu dihujat. Setelah Rasulullah wafat, barulah si pengemis tersebut tau bahwa yang menyuapi dan memberinya makan selama ini adalah Rasulullah. Barulah pengemis tersebut masuk Islam.

Literatur ilmu dakwah dalam membicarakan metode dakwah, selalu merujuk firman Allah SWT. Dalam Al-Qur’an surat An-Nahl 125. Yang menjelaskan sekurang-kurangnya ada tiga cara atau metode dalam dakwah, yakni metode hikmah, metode mau’izah dan metode mujadalah. Ketiga metode dapat dipergunakan sesuai dengan objek yang dihadapi oleh seorang da’I atau da’iyah di medan dakwahnya.

Metode bi al-hikmah mengandung pengertian yang luas. Kata al-hikmah sendiri di dalam Al-qur’an dalam berbagai bentuk derivasinya ditemukan sebanyak 208 kali. Secara harfiah kata tersebut mengandung makna kebijaksanaan. Bila dilihat dari sudut pemakaiannya, kata tersebut mengandung arti bermacam-macam, seperti:

  1. Kenabian (nubuwwah)
  2. Pengetahuan tentang Al-Qur’an
  3. Kebijaksanaan pembicaraan dan perbuatan
  4. Pengetahuan tentang hakikat kebenaran dan perwujudannya dalam kehidupan
  5. Ilmu yang bermanfaat, ilmu amaliyah dan aktivitas yang membawa kepada kemaslahatan ummat
  6. Meletakkan suatu urusan pada tempatnya yang benar
  7. Mengetahui kebenaran dan beramal dengan kebenaran tersebut, pengetahuan yang lurus dalam pembicaraan dan amal
  8. Kondisi psikologis seperti ketundukan, kepasrahan dan takut kepada Allah
  9. Sunnah nabi
  10. Posisi wara terhadap agama Allah
  11. Sikap adil sehingga pemikiran dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya

 

Syekh Muhammad Abduh memberikan definisi hikmah sebagai berikut:

 “hikmah adalah ilmu yang sahih (benar dan sehat) yang menggerakkan kemauan untuk melakukan suatu perbuatan yang bermanfaat dan berguna

Ketika menyimpulkan pemaknaan terhadap hikmah ini Moh. Natsir mengatakan bahwa hikmah lebih dari semata-mata ilmu. Ia adalah ilmu yang sehat, yang mudah dicernakan; ilmu yang berpadu dengan rasa perisa, sehingga menjadi daya penggerak untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, berguna. Kalau dibawa ke bidang dakwah: untuk melakukan sesuatu tindakan yang berguna dan efektif.

Dalam kegiatan dakwah metode hikmah muncul dalam berbagai bentuk, yakni: a) mengenal strata mad’u; b) kapan  harus bicara, kapan harus diam; c) mencari titik temu; d) toleran tanpa kehilangan sibghah; e) memilih kata yang tepat; f) cara berpisah; g) uswatun hasanah dan h)lisanul hal.

Islam adalah agama dakwah[8] artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah. Maju mundurnya umat islam sangat bergantung dan berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang dilakukannya[9], karena itu Al-Qur’an dalam menyebut kegiatan dakwah dengan ahsanu qiaula. Dengan kata lain bisa disimpulkan bahwa dakwah menempati posisi yang tinggi dan mulia dalam kemajuan agama islam, tidak dapat dibayangkan apabila kegiatan dakwah mengalami kelumpuhan yang disebabkan oleh berbagai faktor terlebih pada era globalisasi sekarang ini, di mana berbagai informasi masuk begitu cepat dan instan yang tidak dapat dibendung lagi. Ummat islam harus dapat memilah dan menyaring informasi tersebut sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai islam.

Implikasi dari pernyataan islam sebagai agama dakwah menuntut ummatnya agar selalu menyampaikan dakwah, karena kegiatan ini merupakan aktivitas yang tidak pernah usai selama kahidupan dunia masih berlangsung dan akan terus melekat dalam situasi dan kondisi apapun bentuk dan coraknya.

Dakwah islam adalah tugas suci yang dibebankan kepada setiap muslim di mana saja ia berada, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Rosulullah SAW, kewajiban dakwah menyerukan, dan menyampaikan agama islam kepada masyarakat.

Dakwah islam, dakwah yang bertujuan untuk memancing dan mengharapkan potensi fitri manusia agar eksistensi mereka punya makna dihadapan tuhan dan sejarah. Sekali lagi perlu ditegaskan di sini bahwa tugas dakwah adalah tugas ummat secara keseluruhan bukan hanya tugas kelompok tertentu ummat islam.

Berdasarkan surat An-Nahl bentuk metode dakwah yaitu:

  1. Al-Hikmah

M. Abduh berpendapat bahwa, hikmah adalah mengetahui rahasia dan faedah di dalam tiap-tiap hal. Hikmah juga digunakan dalam arti ucapan yang sedikit lafadzh akan tetapi banyak makna  ataupun diartikan meletakkan sesuatu pada tempat yang semestinya.

Al-hikmah diartikan pula sebagai al’adl (keadilan), al-haq (kebenaran), al-hilm (ketabahan), al-ilm (pengetahuan), dan an-nubuah (kenabian). Di samping itu, al-hikmah juga diartikan sebagai menempatkan sesuatu pada proporsinya. Sebagai metode dakwah, al-hikmah diartikan bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang, hati yang bersih dan menarik perhatian orang pada agama dan tuhan.

Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa al-hikmah adalah merupakan kemampuan dan keteapatan da’I dalam memilih, menilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif mad’u. al-hikmah merupakan kemampuan da’I dalam menjelaskan doktrin-doktrin islam serta realitas yang ada dengan argumentasi logis dan bahasa yang komunikatif. Oleh karena itu, al-hikmah sebagai sebuah sistem yang menyatukan antara kemampuan teoritis dan praktis dalam berdakwah.

Dengan demikian, jika hikmah dikaitkan dengan dakwah, akan ditemukan bahwa hikmah merupakan peringatan kepada juru dakwah untuk tidak menggunakan satu bentuk metode saja. Sebaliknya mereka harus menggunakan berbagai macam metode sesuai dengan realitas yang dihadapi dan sikap masyarakat terhadap agama islam. Sebab sudah jelas bahwa dakwah tidak akan berhasil menjadi suatu wujud yang riil jika metode dakwah yangdipakai untuk menghadapi orang bodoh sama dengan yang dipakai untuk menghadapi orang terpelajar. Kemampuan kedua kelompok tersebut dalam berpikir dan menangkap dakwah yang disampaikan tidak dapat disamakan, daya pengungkapan dan pikiran yang dimiliki manusia berbeda-beda.

  1. Al-mau’idzah al-hasanah

Metode mau’izah hasanah mengandung arti cara memberi pengajaran yang baik. Kata mau’izah sendiri dalam Al-Qur’an dalam segala bentuknya terulang sebanyak 25 kali. Bila diperhatikan pemaknaan mau’izah hasanah dalam ayat-ayat Al-Qur’an, maka tekanan tertuju pada peringatan yang baik dan dapat menyentuh hati sanubari seseorang, sehingga pada akhirnya audiens terdorong untuk berbuat baik. Metode ini terdiri dari berbagai bentuk, yakni; nasihat, tabsyir wa tanzir, dan wasiyat.

Mau’idzah hasanah diklasifikasikan dalam beberapa bentuk:

  1. Nasihat atau petuah
  2. Bimbingan, pengajaran (pendidikan)
  3. Kisah-kisah
  4. Kabar gembira dan peringatan
  5. Wasiat (pesan-pesan positif)

Menurut K.H mahfudz kata tersebut mengandung arti:

  1. Didengar orang, lebih banyak lebih baik suara panggilannya
  2. Dituruti orang, lebih banyak lebih baik maksud tujuannya sehingga menjadi lebih besar kuantitas manusia yang kembali ke jalan tuhannya, yaitu jalan Allah SWT.

Jadi Mau’idzah hasanah adalah kata-kata yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan; tidak membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain sebab kelemah-lembutan dalam menasihati seringkali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman.

  1. Al-mujadalah bi-al-lati hiya ahsan

Menurut Dr. Sayyid Muhammad Thantawi ialah, suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat. Al-mijadalah merupakan tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima  pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Antara satu dengan yang lainnya saling menghormati dan menghargai pendapat keduanya berpegang pada kebenaran, mengakui kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman kebenaran tersebut.

Sumber metode dakwah:

1)      Al-qur’an

2)      Sunnah rasul

3)      Sejarah hidup para sahabat da fuqaha

4)      Pengalaman

Aplikasi metode dakwah rasulullah:

a)      Pendekatan personal[10]

b)      Pendekatan pendidikan

c)      Pendekatan diskusi

d)     Pendekatan penawaran

e)      Pendekatan misi

B. Sumber dan Landasan Metodologi Dakwah dari Hadits

Pemahaman terhadap metode dakwah yang telah disebutkan di dalam Alquran tersebut dapat diaplikasikan dengan menggunakan metode yang diajarkan oleh Rasulullah selaku pelopor dakwah islamiyah, seperti yang tertera di dalam redaksi Hadis riwayat imam Bukhari dan imam Muslim sebagai berikut:

مَنْرَأَىمِنْكُمْمُنْكَرًافَلْيُغَيِّّرْهُبِيَدِهِ،فَإِنْلَمْيَسْتَطِعْفَبِلِسَانِهِ،فَإِنْلَمْيَسْتَطِعْفَبِقَلْبِهِوَذَالِكَاَضْعَفُاْلإِيْمَانِ

Barang siapa di antara kalian melihat kemunkaran, maka cegahlah dengan tangannya (kekuasaan), apabila tidak mampu maka dengan lidahnya, apabila tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.”

Berdasarkan Hadis tersebut dapat dipahami bahwa metode dakwah yang disebutkan di dalam Alquran mempunyai integritas dengan metode dakwah yang tertera di dalam Hadis, maksudnya adalah bahwa pelaksanaan metode dakwah yang ada di dalam Alquran dengan menggunakan metode dari Hadis seperti yang disebutkan di atas.

Sehingga dapat dipahami bahwa Hadis merupakan salah satu landasan metode dalam melaksanakan dakwah, selain didasarkan kepada metode dakwah yang dilaksanakan Rasulullah dalam menyebarkan agama Islam. Konsep seperti ini merupakan modal utama bagi para da’i (pelaksana dakwah), sehingga pemahaman terhadap metode dakwah yang terdapat di dalam Hadis sangat diperlukan untuk pencapaian hasil yang lebih optimal dengan persentase keberhasilan dakwah mencapai taraf yang signifikan.

Ahmad Janawi di dalam tulisannya yang dimuat di dalam jurnal dakwah Alhadharah, menyebutkan bahwa sukses atau tidaknya suatu dakwah tidak diukur dari banyaknya jemaah (mad’u), atau ekspresi yang ditampilkan oleh jemaah tersebut seperti tangis, gelak-tawa, dan sebagainya, karena hal tersebut merupakan indikator, dan disebutkan bahwa nilai sukses suatu dakwah diukur melalui bekas (atsar) yang ditinggalkan di dalam benak mad’u, dalam artian memberikan kesan dan dengan harapan dari kesan tersebut memberikan stimulan kepada mad’u untuk dapat mengaplikasikan di dalam kehidupan (2003: 21).

  1.  Hadis Sebagai Landasan Metode Dakwah

Pedoman utama yang tidak dapat berubah serta dinamis adalah Alquran dan Sunnah atau Hadis (Zaidallah, 2002: 72), karena secara epistemologis Hadis dipandang oleh mayoritas umat Islam sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Alquran, sebab Hadis merupakan bayân (penjelasan) terhadap ayat Alquran yang masih mujmal (global), ‘âmm (umum) dan mutlaq atau tanpa batasan (Mustaqim, 2008: 4). Dapat disimpulkan bahwa Hadis dari Rasulullah berfungsi sebagai pendukung dari firman Allah yang terkodifikasi di dalam Alquran.

Sehingga dari penjelasan tersebut Hadis dapat menjadi landasan metode dakwah. Hal ini berdasarkan keterangan dari Allah SWT yang tertera di dalam Alquran surah al-Ahzab ayat 21 yang menyatakan: “Sungguh terdapat di dalam diri Rasulullah teladan yang baik bagimu…” sehingga setiap aktivitas dakwah harus dirancang serta dilakukan dengan sebaik-baiknya dengan memperhatikan berbagai situasi dan kondisi yang dihadapi (Ismail, 2006: 235), seperti yang dilakukan oleh Rasulullah dalam melaksanakan dakwah.

Di dalam sunnah rasul (Hadis), banyak ditemui Hadis yang berkaitan dengan dakwah, begitu juga dalam sejarah hidup dan perjuangan Nabi SAW serta cara-cara yang dipakai beliau dalam menyebarkan dakwahnya, baik ketika beliau berjuang di kota Mekkah atau di kota Madinah. Semua hal tersebut memberikan contoh dalam metode dakwah beliau, sehingga seharusnya para da’i mengikuti langkah perjuangan dakwah beliau (Zaenab, 2009: 35).

Wardi Bachtiar menjelaskan bahwa metode dakwah yang ada di dalam Alquran surah an-Nahl ayat 125 digunakan dengan cara atau metode yang terdapat di dalam Hadis riwayat Muslim yaitu menggunakan kekuatan anggota tubuh (tangan), dengan mulut (lidah), dan dengan hati (Bachtiar, 1997: 34). Kemudian dilanjutkan bahwa dari sumber metode tersebut menghasilkan metoda-metoda yang merupakan operasionalisasinya yaitu dakwah dengan lisan, tulisan, seni, dan bil-hal (1997: 34).

1.      Dakwah bil-yadi

Dakwah dengan tangan (bil-yadi) dapat diinterpretasikan sebagai bentuk dakwah dengan menggunakan kekuasaan atau kekuatan, dapat juga diartikan sebagai kemampuan (ability) seseorang dalam menyampaikan ajaran Islam. Selain itu, dapat juga diartikan sebagai bentuk dakwah dengan menggunakan kekuasaan, seperti berdakwah di tengah kalangan pemerintah atau berdakwah dengan kekuasaan yang dimiliki.

Hal tersebut dapat berupa ikut serta secara aktif dalam kegiatan penyuluhan masyarakat dalam melawan fenomena penyimpangan dan tindak pidana melalui jalur khusus di dalam setiap wilayah pemerintahan, atau mendirikan sektor khusus di pemerintahan yang bertugas memberikan pengarahan dan penyuluhan agama kepada masyarakat, serta mengoptimalkan peran menjadi seorang da’i yang berjuang di jalan Allah (Al-‘Allaf, 2008: 130).

Menurut Ali Abdul Halim Mahmud menambahkan dalam penjelasan mengenai dakwah di dalam kalangan pemerintah dapat dimulai dengan ikut serta dalam membentuk organisasi atau institusi yang dapat memenuhi keinginan pribadi atau keluarga, kemudian semakin dapat dikembangkan hingga dapat memenuhi kebutuhan orang banyak, di desa ataupun di kota, kemudian terus dikembangkan sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan dengan institusi dan organisasi tersebut, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dunia Islam secara menyeluruh (Mahmud, 2002: 254).

Secara teknis, pembentukan masyarakat Islam harus dimulai dengan pembentukan individu-individu muslim (takwîn al-fard al-muslim), kemudian keluarga muslim (al-bait al-muslim), selanjutnya masyarakat muslim (mujtama’ islâmî), sehingga individu muslim dan keluarga muslim merupakan komponen yang membentuk masyarakat Islam (2006: 153).

Memahami kalimat “hikmah” yang terdapat di dalam surah an-Nahl ayat 125, jika dihubungkan dengan interpretasi terhadap dakwah bil-yadi dapat dikategorikan dengan hikmah yang dimaksud di dalam Alquran, dengan konteks bahwa hikmah berjalan pada metode yang realistis (praktis) dalam melakukan suatu perbuatan (2003: 14). Dari penjelasan tersebut dapat dipahami makna kebijaksanaan atau hikmah yang dimaksud adalah bentuk nyata di dalam perbuatan seseorang.

2.      Dakwah bil-lisan

Secara umum, dakwah dipahami hanya dalam bentuk dakwah bil-lisan, karena itu istilah dakwah yang menjadi asumsi masyarakat adalah dalam bentuk penyampaian lidah atau ucapan di masjid-masjid, pengajian, dan sebagainya. Hal ini menyebabkan ruang lingkup pemahaman masyarakat terhadap dakwah menjadi sempit, karena makna dakwah sendiri tidak hanya dalam bentuk ucapan, dan ucapan merupakan salah satu bentuk dari metode dakwah.

Dakwah yang sering dilakukan Rasulullah dalam konteks sejarah adalah dakwah bil-lisan untuk menyampaikan risalah Islam, baik dengan metode ceramah, khutbah, diskusi, nasehat, dan sebagainya. Ahmad Janawi memaparkan metode dialog yang juga pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap pemeluk agama Yahudi, Nasrani, dan agama lainnya dengan berbagai hal (2003: 22).

 Sebagai contoh ketika beliau berbicara dengan orang Nasrani Najran yang berjumlah 60 orang yang dipimpin oleh al-Sayyid dan al-‘Aqib mengenai persoalan Nabi Isa as, Rasulullah mengatakan kepada mereka bahwa Nabi Isa bukan anak Allah, kemudian mereka membantah dengan memberikan pertanyaan, “siapa ayah Isa?” tetapi Rasulullah memberikan gambaran bahwa Allah itu tidak akan mati dan tetap hidup, sedangkan Isa tidak seperti itu.

Allah itu pemberi rizki dan pencipta segala sesuatu, sedangkan Isa tidak, Rasulullah juga memberikan penjelasan bahwa Isa dikandung oleh seorang ibu seperti ibu lainnya, sehingga secara logika seorang ayah akan mempunyai kemiripan dengan ayahnya, sedangkan Isa tidak seperti itu, dengan penjelasan tersebut orang Nasrani Najran tersebut dapat menerima dan akhirnya masuk Islam dengan perdamaian.

Dakwah dengan menggunakan metode dialog seperti yang dilakukan Rasulullah dapat dikaitkan dengan metode mujadalah (berdiskusi) yang terdapat di dalam surah an-Nahl 125, selain itu dakwah bil-lisan dapat berbentuk hal lain yang mempunyai tujuan yang sama meskipun dengan pelaksanaan yang sedikit berbeda, seperti dialog interaktif, atau yang sejenisnya.

Seorang da’i harus berbicara dengan gaya bahasa yang menimbulkan kesan di dalam hati para mad’u (obyek dakwah), sehingga agar tidak terdapat kesalahan dalam berbicara yang menyebabkan kegagalan dalam penyampaian pesan-pesan dakwah, diperlukan untuk memperhatikan empat hal sebagai berikut:

  1. Memilih kata-kata yang baik;
  2. Meletakkan pembicaraan tepat pada tempatnya dan mencari kesempatan yang benar;
  3. Berbicara dengan pembicaraan sekedar keperluan; dan
  4.  Memilih kata-kata yang akan dibicarakan.

M. Isa Anshary menjelaskan bahwa lidah berkuasa membuat hidup menjadi lebih berbahagia serta bercahaya, dan lidah juga mampu untuk membuat hidup menjadi kering dan gersang, dan kemudian lidah juga mampu menegakkan iman dan kepercayaan di dalam hati dan perilaku manusia, dan mampu menjadikan manusia anti terhadap Tuhan dan agama (Anshary, 1995: 29).

3.      Dakwah bil-qalb

Abdullah Gymnastiar menyatakan bahwa salah satu potensi di dalam diri manusia yang tidak setiap orang dapat mengembangkan dengan baik adalah hati, hati membuat otak cerdas menjadi mulia serta badan yang kuat menjadi mulia, dan dengan hati orang yang tidak berdaya menjadi mulia, sehingga hati yang bersih memberikan pengaruh terhadap pola berfikir manusia (Gymnastiar, 2005: 5).

Di dalam redaksi Hadis Nabi riwayat Bukhari dan Muslim yang menyatakan bahwa apabila tidak mampu mencegah kemunkaran dengan tangan atau lidah, maka dengan hati dan hal tersebut merupakan bentuk lemahnya iman. Pemahaman tersebut dapat dianalisa alasan mengapa berdakwah dengan hati dikategorikan sebagai bentuk lemahnya iman.

Sebagian para pakar mengkategorikan dakwah bil-qalb dalam bentuk dakwah bil-hal (dengan perilaku), hal ini didasarkan karena dakwah tidak harus selalu dengan kata-kata, karena dari sekian banyak permasalahan ternyata solusinya tidak hanya dengan kata-kata, tetapi dengan memberikan teladan yang baik, karena perbuatan seorang da’i adalah salah satu bentuk dakwah (Rahmat Semesta, 2003: 121).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa diam dapat menjadi solusi pada kondisi yang tertentu, Rasulullah bersabda di dalam redaksi Hadis yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang dhaif (lemah), kemudian dia membenarkan bahwa Hadis ini bernilai mauquf dari ucapan Luqman Hakim (Syafe’i, 2003: 50), redaksi Hadis yang memuat Hadis tersebut adalah sebagai berikut:

عَنْأَنَسٍقَالَ: قَالَرَسُوْلُاللهِصَلَّىاللهِعَلَيْهِوَسَلَّمَ: اَلصُّمْتُحِكْمَةٌوَقَلِيْلٌفَاعِلُهُ.

Dari Anas berkata, telah bersabda Rasulullah SAW: diam itu suatu kebijaksanaan, tetapi sedikit orang yang melakukannya.”

Rachmat Syafe’i menambahkan bahwa orang yang tidak banyak bicara kecuali hal yang baik lebih banyak terhindar dari dosa dan kejelekan, dari pada orang yang banyak berbicara tanpa membedakan hal yang pantas dibicarakan dan yang tidak pantas untuk menjadi topik pembicaraan (2003: 50).

Ibn Taimiyah menyatakan bahwa orang yang menyaksikan suatu kesalahan (dosa) lalu membencinya dengan hatinya, maka dia sama dengan orang yang tidak menyaksikan perbuatan itu apabila dia tidak mampu mencegah dengan tangan atau lidahnya. Dan apabila dia menyaksikan perbuatan dosa atau kesalahan itu kemudian dia membiarkannya, maka orang tersebut sama seperti orang yang menyaksikan perbuatan tersebut dan mampu untuk mencegah perbuatan tersebut tetapi tidak dilakukannya (Ibn Taimiyah, 2001: 19).

Diam juga bisa menjadi faktor penyebab gagalnya dakwah, hal ini karena diam dapat bermacam-macam, diam yang dapat menjadikan gagalnya dakwah adalah diam yang disebabkan oleh penyakit futūr, oleh Sayyid M. Nuh menjelaskan dengan mengutip dari kitab lisan al-arab bahwa futūr berasal dari kata fatara yang berarti sikap berdiam diri setelah sebelumnya giat atau menjadi lemah setelah sebelumnya kuat, sedangkan menurut istilah pengertiannya adalah penyakit hati atau rohani yang efeknya menimbulkan rasa malas untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya sering dilakukan (Nuh, 1998: 15).

Sehingga dapat dipahami bahwa maksud dari Hadis Nabi yang menyatakan bahwa mencegah suatu kemunkaran dengan hati adalah bentuk lemahnya iman dipandang dari sudut negatif, sehingga kriteria mencegah dengan hati masih dapat dimaklumi, karena dari berbagai kriteria tertentu diam dapat menjadi solusi untuk memecahkan masalah, dan diam juga dapat menjadi penyebab gagalnya dakwah, sehingga hal ini yang dimaksud oleh Rasulullah sebagai bentuk lemahnya iman.

Di dalam sebuah riwayat, Abu Juhaifah berkata bahwa Ali r.a berkata: “sesungguhnya yang pertama mengalahkan kamu di dalam jihad adalah jihad dengan tangan, kemudian lidah dan terakhir dengan hati, maka orang yang hatinya tidak mengenal kebaikan dan tidak menolak keburukan, maka dia akan dibalik dimana bagian atas dijadikan bagian bawah (2001: 18).

  1.  Pendapat Ulama Hadis terhadap Metode Dakwah

Ada beberapa Hadis dari Rasulullah yang membahas masalah kewajiban untuk mencegah kemunkaran dan menyeru kepada kebaikan, Ibn Mas’ud r.a pernah mendengar seseorang yang mengatakan bahwa akan celaka orang yang tidak mengajak kepada kebaikan dan tidak mencegah kemunkaran, sehingga beliau memberikan isyarat bahwa mengetahui kebaikan dan keburukan dengan hati adalah sesuatu yang wajib bagi setiap individu, maka orang yang tidak mau mengetahui hal tersebut akan celaka (2001: 18).

Memahami metode dakwah yang tercantum di dalam Hadis Rasulullah yang banyak membahas masalah kewajiban untuk mencegah kemunkaran, menurut pandangan para ahli diperlukan pemahaman terhadap obyek dakwah atau masyarakat itu sendiri, karena efek yang terjadi pada obyek dakwah merupakan indikator atau dapat dikatakan sebagai tolak ukur kesuksesan dakwah, sehingga beberapa ahli memberikan beberapa pendapat di antaranya sebagai berikut:

  1. Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Apakah kamu suka bahwa Allah dan rasul-Nya didustai orang, berbicaralah kepada manusia dengan pengetahuan dan tinggalkanlah sesuatu yang membuat mereka ingkar.”
  2. Ali Mahfuz di dalam bukunya yang berjudul hidayah al-mursyidin, menyatakan: “Tukarlah setiap orang itu sesuai dengan ukuran akalnya dan timbanglah dia sesuai dengan bobot pemahamannya.”
  3. M. Natsir menyatakan bahwa akan sulit bagi seorang muballigh mencernakan isi dan cara berdakwah yang tepat apabila dia tidak lebih dahulu mengetahui corak, sifat, tingkat kecerdasan, kepercayaan yang tradisional dan aliran-aliran dari luar yang mempengaruhi masyarakat yang sedang dihadapinya.
  4.  M. Isa Anshary memberikan pendapat bahwa tanpa mengenal masyarakat, tidak ada gunanya sama sekali segala buku yang telah dibaca setiap hari, karena ilmu yang banyak dan pengetahuan yang luas tidak akan berguna apabila buku atau pengetahuan tentang masyarakat yang berkembang setiap hari tidak dipelajari.

Dari pendapat beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa sangat penting bagi seorang da’i untuk mengenal masyarakat selaku obyek dakwah, sehingga kesuksesan dakwah yang disampaikan tergantung kepada pemilihan metode yang tepat dengan berlandaskan pengetahuan terhadap obyek dakwah yang beraneka ragam.

Menurut Sayyid Quthb, aqidah adalah tema sentral dalam menyampaikan dakwah, karena persoalan dakwah yang sesungguhnya adalah masalah aqidah, adapun persoalan lain yang terjadi di dalam kehidupan pada dasarnya berasal dari masalah aqidah, sehingga aqidah harus menjadi fokus perhatian bagi para da’i (Ismail, 2006: 259).

Adapun untuk permasalahan pentingnya metode dakwah, beberapa pakar menyampaikan pendapat mereka mengenai pentingnya metode dakwah di antaranya sebagai berikut:

  1. Syeikh M. Abu al-Fath al-Bayanuni menyatakan bahwa urgensi metode dakwah adalah sebagai berikut:
  1. Terjaga dari penyimpangan dalam mengemban misi dakwah islamiyah
  2.  Dengan metode akan memperjelas visi dan misi dakwah.
  3.  Untuk keseimbangan dan kelanjutan dakwah.

2. Syeikh Athif Faiz menyatakan mengenai pentingnya metode dakwah adalah merupakan langkah awal menuju izzul Islam sebagai manhaj qur’ani memiliki manhaj dimensi manhaj muhaddad (aturan yang teratur dan tertata rapi), agar tidak terjadi penyimpangan dalam berdakwah sekaligus sebagai khath fashil (titah pembeda) antara langkah yang menuju ridha Allah dan yang menuju jalan kesesatan.

  1. Samith Athif al-Zain menyampaikan tentang pentingnya metode dakwah adalah merupakan hal yang sangat penting dalam meluruskan misi dakwah yang selama ini terpuruk, padahal Alquran benar-benar mengajarkan metode khusus dalam penyebaran misi Islam.

Muhammad Abduh membagi mad’u atau obyek dakwah menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut:

  1. Golongan cendikiawan yang cinta kebenaran, dan dapat berpikir secara kritis, serta cepat menangkap persoalan.
  2. Golongan awam, yaitu kebanyakan orang yang belum dapat berpikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang tinggi.
  3. Golongan yang berbeda dengan kedua golongan tersebut, mereka senang membahas sesuatu, tetapi hanya dalam batas tertentu, dan tidak sanggup mendalami dengan benar (Ilaihi, 2010: 91).

Sedangkan M. Bahri Ghozali mengelompokkan mad’u berdasarkan tipologi dan klasifikasi masyarakat yang terbagi menjadi lima bagian, yaitu sebagai berikut:

1.      Tipe innovator: masyarakat yang memiliki keinginan keras pada setiap fenomena sosial yang sifatnya membangun, bersifat agresif, dan tergolong berhati-hati dalam setiap langkah.

2.      Tipe pengikut: masyarakat yang selektif dalam menerima pembaharuan dengan pertimbangan tidak semua pembaharuan dapat membawa perubahan positif, untuk menerima atau menolak ide pembaharuan, mereka mencari pelopor yang menjadi wakil mereka dalam menanggapi pembaharuan tersebut.

3.     Tipe pengikut dini: masyarakat sederhana yang kadang-kadang kurang siap dalam mengambil resiko dan umumnya lemah mental, kelompok masyarakat ini adalah kelompok kelas dua di masyarakatnya dan mereka memerlukan pelopor sebagai perwakilan dalam mengambil tugasnya dalam masyarakat.

4.     Pengikut akhir: masyarakat yang ekstra hati-hati sehingga berdampak pada masyarakat yang skeptis terhadap sikap pembaharuan. Karena faktor kehati-hatian yang berlebihan, setiap gerakan pembaharuan memerlukan waktu dan pendekatan yang sesuai untuk bisa masuk.

5.    Tipe kolot: masyarakat yang memiliki ciri-ciri tidak mau menerima pembaharuan sebelum mereka terdesak oleh lingkungannya (2010: 91).

Dari beberapa pendapat tersebut menjadikan keharusan dalam pelaksanaan dakwah diperlukan pemilihan metode yang tepat dan relevan dengan keadaan mad’u, sehingga apa yang menjadi tujuan dakwah islamiyah dapat terwujud (2009: 42). Metode dakwah merupakan salah satu unsur yang menentukan dalam keberhasilan dakwah, penyesuaian dan pemilihan metode yang tepat memberikan stimulant terhadap kesuksesan dakwah.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Metode dakwah yang terkandung dalam surat Al-Qur’an, An-Nahl ayat 125 tentang Metode Dakwah adalah:

  • Disampaikan dengan cara hikmah dan pengajaran yang baik
  • Berdebat dengan Cara yang Baik
  • Membalas Kejahatan dengan Kebaikan

Dalam kegiatan dakwah metode hikmah muncul dalam berbagai bentuk, yakni: a) mengenal strata mad’u; b)kapan harus bicara, kapan harus diam; c)mencari titik temu; d)toleran tanpa kehilangan sibghah; e)memilih kata yang tepat; f)cara berpisah; g)uswatun hasanah dan h)lisanul hal.

Sedangkan bentuk metode dakwah yang terkandung dalam surat An-Nahl: 125 adalah:

  • Metode hikmah adalah mengetahui rahasia dan faedah di dalam tiap-tiap hal
  • Metode mau’izah hasanah mengandung arti cara memberi pengajaran yang baik
  • Metode Al-mujadalah bi-al-lati hiya ahsanupaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat

Sumber metode dakwah:

  • Al-qur’an
  • Sunnah rasul
  • Sejarah hidup para sahabat da fuqaha
  • Pengalaman

Aplikasi metode dakwah rasulullah:

  • Pendekatan personal[11]
  • Pendekatan pendidikan
  • Pendekatan diskusi
  • Pendekatan penawaran
  • Pendekatan misi

Pembahasan panjang mengenai metode dakwah dalam perspektif Hadis pada intinya adalah menyangkut metode dakwah yang tercantum di dalam Alquran surah an-Nahl 125, yang pelaksanaannya dalam bentuk Hadis Rasulullah yaitu dengan tangan, lidah, atau hati, yang pada dasarnya bersifat tidak terikat, karena penyesuaian terhadap karakter masyarakat yang berbeda-beda, sehingga kemampuan dalam pemilihan metode yang tepat adalah salah satu kunci untuk keberhasilan dakwah.

Pada dasarnya permasalahan masyarakat yang beraneka ragam berasal dari permasalahan aqidah atau keyakinan, karena pada saat keyakinan lemah disebabkan kondisi hati dapat menjadikan seseorang menolak hal yang sebenarnya diterimanya. Selain itu, sebagai kewajiban seorang muslim adalah mencegah keburukan dan saling mengingatkan dalam kebaikan, menjadikan keharusan bagi setiap pribadi muslim setidaknya menolak dengan hati suatu kemunkaran, karena apabila tidak merupakan bentuk lemahnya iman seperti yang digambarkan oleh Rasulullah di dalam hadisnya.

Dapat juga diterjemahkan bahwa hati adalah titik penentu iman seseorang, karena perbuatan berasal dari kemauan hati, dalam kondisi tertentu hati dapat menjadi sebuah bumerang yang mengenai diri sendiri apabila tidak bisa memberikan kendali, tetapi juga dapat menjadi senjata yang paling ampuh apabila dilakukan manajemen yang tepat. Dari hati kemudian ke otak adalah proses pemilihan metode yang tepat untuk menyampaikan dakwah, sehingga semua unsur yang berhubungan dengan keberhasilan dakwah dapat menjadi sangat penting karena saling mendukung.

Para pakar telah menyatakan bahwa metode dakwah sangat penting untuk keberhasilan dakwah, selain pemahaman terhadap keragaman karakteristik masyarakat menjadikan ketepatan dalam memilih metode yang benar untuk diaplikasikan merupakan bentuk upaya pencapaian keberhasilan dakwah dengan langkah yang tepat, karena ketepatan dalam memilih metode sangat mendukung karena pesan yang disampaikan akan mudah diterima oleh masyarakat selaku obyek atau sasaran dakwah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ad-Dimasyqi, Ibn Katsir. 1412 H. Dar ul-Fikr. jilid II

Ahmad, Muhammad bin, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mahalli. As-Suyuthi, Dar ul-Hadîts. Kairo

Isma’il, Al-imam Abdul Fida. 2003. Tafsir Ibnu Kasir. Bandung: Sinar Baru Algensindo

http://www.google.com

http://www.wikipedia.com

Ja’far, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid Ath Thabari Abu. Dâr ul-Fir. Beirut. Jilid 14

Muriah, Siti. 2000. Metodologi Dakwah Kontemporer. Yogyakarta: Mitra Pustaka

Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati

‘Abdillah, Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farah al-Qurthubi Abu.  Dâr Sya’b. cetakan II, Jilid X.

[1] Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.

[2] Al-imam Abdul Fida Isma’il, Tafsir Ibnu Kasir, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003), halm. 278

[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), halm. 384

[4] Muhammad bin Ahmad, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mahalli, As-Suyuthi, Dar ul-Hadîts (Kairo) hlm.  363

[5] Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farah al-Qurthubi Abu ‘Abdillah, Dâr Sya’b (Kairo, 1373 H) cetakan II, Jilid X, halm. 200.

[6] Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid Ath Thabari Abu Ja’far, 224-310 H, Dâr ul-Fir, (Beirut,1405 H), Jilid 14, Halm.194.

[7] Ibn Katsir ad-Dimasyqi, 1412 H, Dar ul-Fikr, jilid II, Halaman 720.

[8] M. Mashyhur Amin, Dakwah Islam dan Pesan Moral, (Jakarta: 1997, Al amin Press), halm. 8

[9] Didin Hafiduddin, M. Sc, Dakwah Aktual, (Jakarta: 1998, Gema Insani Press), halm. 76

[10] Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), halm. 55

Tinggalkan komentar